10 Fakta Unik tentang Pemilu di Berbagai Negara yang Jarang Diungkap

Ramona

10 Fakta Unik tentang Pemilu di Berbagai Negara yang Jarang Diungkap

Temukan berbagai fakta unik tentang pemilu di berbagai negara yang jarang diungkap, yang akan memperluas wawasan Anda tentang proses demokrasi di seluruh dunia.

Pemilu adalah momen penting dalam kehidupan politik sebuah negara, di mana rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin dan wakil mereka.

Meskipun proses pemilu tampak serupa di berbagai negara, sebenarnya terdapat banyak perbedaan unik dan menarik yang jarang diungkap.

Artikel ini akan mengajak Anda untuk mengenal 10 fakta unik tentang pemilu di berbagai negara yang mungkin belum Anda ketahui.

Mulai dari metode pemungutan suara hingga aturan kampanye yang tidak biasa, fakta-fakta ini akan menambah wawasan Anda tentang keragaman proses demokrasi di seluruh dunia.

Fakta Unik Mengenai Pemilu di Berbagai Negara

1. Hari Pemungutan Suara yang Berbeda-beda

Di seluruh dunia, hari pemungutan suara ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan historis dan praktis.

Di Amerika Serikat, pemilu umumnya diadakan pada hari Selasa, sebuah tradisi yang berakar dari kebutuhan petani abad ke-19 untuk bertravel ke tempat pemungutan suara tanpa mengganggu hari pasar yang biasanya diadakan pada hari Rabu.

Mereka membutuhkan hari Senin untuk perjalanan, sehingga hari Selasa menjadi pilihan yang logis.

Sementara itu, Kanada menggunakan hari Senin, Inggris memilih hari Kamis, dan baik Australia maupun Selandia Baru memilih hari Sabtu untuk mengakomodasi pemilih tanpa mengganggu jadwal kerja mingguan. Di Indonesia, pemilu dijadwalkan pada hari Rabu, 14 Februari 2024.

2. Durasi Pemilu di India

India, yang dikenal sebagai demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah pemilih yang mencapai sekitar 100 juta orang, mengadakan pemilu yang berlangsung selama beberapa minggu.

Proses pemilihan umum di negara ini diatur dalam beberapa tahap untuk mengakomodasi jumlah pemilih yang sangat besar dan kompleksitas logistiknya.

Pada pemilu terakhir di tahun 2019, pemilu di India dilaksanakan dalam tujuh tahap selama lima minggu untuk memilih 543 anggota parlemen.

3. Pemilu Wajib di Australia

Australia memiliki ketentuan unik di mana setiap warga negara yang berusia di atas 18 tahun diwajibkan oleh hukum untuk berpartisipasi dalam pemilihan federal. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini akan mengakibatkan denda sebesar AU$ 20 (sekitar Rp 200 ribu).

Jika denda tersebut tidak dibayar, pelanggar bisa menghadapi konsekuensi hukum yang lebih serius, termasuk tuntutan perdata.

Sistem ini dirancang untuk memastikan partisipasi aktif dari warga negara dalam proses demokratis dan menjaga tingkat kehadiran yang tinggi di tempat pemungutan suara.

4. Pemilu Online Sejak Tahun 2005 di Estonia

Estonia adalah pelopor dalam pemungutan suara secara online, mulai mengimplementasikan sistem ini sejak tahun 2005.

Pada pemilu parlemen tahun 2023, lebih dari separuh pemilih di Estonia menggunakan metode pemungutan suara online.

Negara ini telah memanfaatkan digitalisasi dengan memberikan kartu identitas dan PIN yang bisa dipindai kepada warganya.

Kartu identitas digital ini tidak hanya digunakan untuk memberikan suara, tetapi juga untuk berbagai tanggung jawab sipil lainnya seperti membayar pajak hingga denda perpustakaan.

Keamanan dan privasi tetap dijaga dengan sistem enkripsi yang memastikan bahwa identitas pemilih tetap anonim saat memberikan suara.

5. Pemilu Ala Korea Utara yang Otoriter

Pemilu Ala Korea Utara yang Otoriter
Foto: Bulletin of the Atomic Scientists/X

Korea Utara dikenal sebagai negara dengan rezim otoriter yang kuat. Meskipun secara formal negara ini mengadakan pemilu, sifat pemilunya jauh dari demokratis.

Pada pemilu lokal tahun 2015, sekitar 99,7 persen pemilih berpartisipasi, tetapi mereka tidak memiliki banyak pilihan nyata karena partai yang berkuasa telah menentukan kandidatnya.

Pemilih hanya perlu memasukkan kartu suara dengan nama kandidat yang sudah ditentukan ke dalam kotak suara.

Ada kotak terpisah untuk surat suara yang menandakan perbedaan pendapat, tetapi memilih berbeda pendapat sangat berisiko dan jarang dilakukan.

Akibatnya, kandidat yang terpilih selalu mendapatkan hampir 100 persen suara, mencerminkan kendali penuh partai berkuasa atas proses pemilihan.

6. Hak Raja Inggris Memberikan Auara Dalam Pemilu

Di Inggris, tidak ada undang-undang yang melarang Raja Charles III untuk memberikan suara dalam pemilu.

Namun, tradisi yang sudah lama berjalan adalah bahwa keluarga kerajaan, termasuk mendiang Ratu Elizabeth II, jarang berpartisipasi dalam pemungutan suara untuk menjaga netralitas politik.

Selama kampanye Brexit pada tahun 2016, Istana Buckingham menyatakan bahwa ratu berada di atas politik, menegaskan bahwa keluarga kerajaan tidak memberikan suara dalam pemilihan umum untuk mempertahankan objektivitas dan netralitas mereka dalam urusan politik negara.

7. Inovasi Pemilu di Gambia untuk Mengatasi Isu Literasi

Di Gambia, tingkat literasi yang rendah menuntut pemerintah untuk mencari cara inovatif agar proses pemungutan suara tetap berjalan efektif.

Oleh karena itu, warga memberikan suara mereka dengan menjatuhkan kelereng ke dalam drum logam yang diwarnai dan menampilkan gambar kandidat. Setiap drum dilengkapi dengan bel yang akan berbunyi setelah kelereng dijatuhkan.

Jika bel berbunyi lebih dari satu kali, petugas pemungutan suara akan mengetahui adanya pelanggaran. Sistem ini memastikan bahwa semua pemilih dapat berpartisipasi, terlepas dari kemampuan membaca mereka.

8. Hak Pilih Astronot di Luar Angkasa

Sejak tahun 1997, astronot Amerika yang berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional tetap dapat berpartisipasi dalam pemilu.

Ini dimungkinkan setelah anggota parlemen Texas mengesahkan undang-undang yang memungkinkan pengiriman surat suara yang aman ke luar angkasa.

Astronot dapat menentukan pilihannya secara elektronik, dan surat suara yang telah diisi kemudian dikirim kembali ke Bumi. Petugas pemilu akan membuka dokumen yang telah dikodekan dan memastikan suara astronot tersebut dihitung bersama suara lainnya.

9. Pemilu di Liechtenstein: Kepentingan Kewarganegaraan

Di Liechtenstein, negara kecil di Eropa dengan populasi sekitar 40.000 orang, pemilihan sering kali mempertimbangkan kandidat yang bersedia memberikan kewarganegaraan kepada penduduk yang telah tinggal di negara tersebut selama 10 tahun atau lebih.

Isu kewarganegaraan menjadi faktor penting dalam pemilu, mempengaruhi pilihan warga terhadap politisi yang maju.

10. Insiden Lucu dalam Pemilu di Ekuador

Pemilu di Ekuador tahun 1967 mencatat insiden yang unik dan menggelikan. Menjelang pemilihan walikota, sebuah perusahaan memasang iklan bertema pemilu yang menyarankan konsumen untuk “memilih” merek bedak kaki mereka.

Akibatnya, pada hari pemungutan suara, banyak pemilih yang memasukkan nama merek bedak kaki tersebut dalam surat suara mereka.

Hasilnya, bedak kaki tersebut secara tidak sengaja “memenangkan” pemilu, memperoleh banyak suara dibandingkan kandidat politisi sebenarnya.

Mempelajari fakta-fakta unik tentang pemilu di berbagai negara memberikan kita perspektif baru tentang bagaimana demokrasi dijalankan dan dihormati di seluruh dunia.

Setiap negara memiliki caranya sendiri untuk memastikan proses pemilu yang adil dan transparan, meskipun dengan metode dan aturan yang berbeda-beda.

Semoga informasi ini tidak hanya menambah pengetahuan Anda, tetapi juga menginspirasi untuk lebih menghargai pentingnya partisipasi dalam pemilu. Mari terus mendukung proses demokrasi yang sehat dan transparan di mana pun kita berada.

Also Read

Bagikan:

Tags